memelihara batasan yang sehat
Self Development

Hilangkan 5 Insta-Ya Ini Untuk Memelihara Batasan Yang Sehat

Setelah tahu harus bagaimana jika ingin memiliki batasan yang sehat, tentu kita juga perlu tahu bagaimana cara mempertahankan “prestasi” tersebut.

Meraih sesuatu yang belum pernah kita dapatkan memang jadi kemewahan dan kepuasan tersendiri. Termasuk dalam hal meraih batasan yang sehat setelah sekian lama terkungkung dalam batasan yang sangat meracuni diri sendiri. Oleh karena itu memelihara batasan yang sehat juga sama pentingnya dengan menciptakannya.

Apakah sulit? Tidak sulit jika kita mulai membiasakannya.

Memelihara Batasan Yang Sehat Tidak Sulit Kok

Ingat dengan pengaruh masa kecil terhadap batasan yang kita milikiYes, batasan yang kamu tentukan saat ini mencerminkan pengalaman masa kanak-kanakmu, serta semua keyakinan keluarga dan budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi, lalu secara tidak sadar mendorong perilaku batasanmu hari ini.

Setelah kamu memahaminya, lalu berusaha keras untuk mengubah batasan yang tidak sehat menjadi batasan yang sehat tersebut. Kini, kita dihadapkan dengan persoalan baru : bagaimana cara memelihara batasan yang sehat itu? Tentu saja agar kita tidak kembali pada hubungan yang toxic dengan orang lain.

Entah hubungan dengan orang tua, sahabat, saudara, pasangan, atau bahkan orang yang baru kita kenal sekalipun.

Canceling Insta-Ya Untuk Memelihara Batasan yang Sehat

Berikut adalah lima hal yang wajib kamu hindari jika ingin batasan yang sehatmu terpelihara.

1. Jangan Biarkan Orang Lain Memiliki Akses VIP Terhadap Hidupmu

boundary boss

Sekarang, mari luangkan waktu sejenak untuk memikirkan siapa saja yang memiliki akses VIP terhadap hidupmu. 

Bagaimana akses VIP itu?

Jadi kamu rela melakukan apa saja demi mereka, dan kamu megatur ulang jadwalmu demi mereka, dan kamu mencoba selalu menyenangkan mereka. Lalu yang lebih penting, tanyakan pada dirimu sendiri : mengapa?

Area VIP-mu adalah hal yang mewakili tempat sakral dalam hati, pikiran, dan kehidupanmu yang (seharusnya) disediakan untuk hubungan-hubungan yang menambah nilai. Untuk menghidupkan, memelihara, dan memberi energi kepadamu.

Intinya tidak sembarang orang bisa punya akses kesana.

Namun yang perlu diingat, area VIP-mu tentu saja sama-sama manusia sama seperti kita. Tidak sempurna, namun tetap saja mereka tidak boleh membuat kita merasa terus menerus dikuras, dimanfaatkan atau bahkan diinjak-injak.

Tolong pahami bahwa saat kamu memiliki batasan yang sehat, berarti kamu sedang membuat perbedaan antara orang-orang dengan prioritas lebih tinggi dengan yang lebih rendah.

Mungkin terdengar kejam, tapi nyatanya tidak mungkin atau tidak pantas jika semua orang malah menjadi prioritas utama dalam hidup kita kan?

2. Jangan Selalu Mengatakan “Ya”

cara memelihara batasan yang sehat

Apakah kamu membuat keputusan dengan mempertimbangkannya dengan penuh kesadaran? Atau “Oke gas!” adalah tanggapan otomatismu? Jika pernyataan terakhir itu benar, kamu mungkin akan mengatakan “Ya” secara refleks.

Segala sesuatu yang otomatis adalah reaksi, bukan pilihan yang penuh pertimbangan. Lalu mengatakan “Ya” tanpa pikir panjang adalah hasil pengondisian seumur hidup.

Padahal di hatimu yang paling dalam kamu sangat ingin mengatakan, “tidak”.

Maka untuk memelihara batasan yang sehat, kamu harus mencoba untuk berlatih menghentikan kebiasaan “Ya” dengan sejenak melakukan momen keheningan.

Ingat bahwa kamu tidak berutang “ya” pada siapa pun. Cobalah diam sebentar, lalu coba jawab, “aku pikirkan dulu”. Hal ini bisa menjadi respon yang berguna.

Nantinya kamu akan mendapati dirimu yang “wah keren” karena melihat betapa bebasnya perasaanmu dengan tidak secara otomatis menyetujui sesuatu yang bertentangan dengan perasaanmu yang sebenarnya.

Cobalah menjernikan pikiran dengan mengambil jeda sejenak sebelum membuat keputusan. Hal tersebut akan memungkinkan kita untuk melakukan hal yang benar-benar kita inginkan. 

3. Jangan Terlalu Banyak Memberi 

ciri batasan yang sehat

Dalam konteks memelihara batasan, memberi secara berlebihan juga hal yang patut kita waspadai. Apalagi untuk orang dengan high-functioning codependency

Menjadi sukarelawan untuk semua hal, berupaya mengirim hadiah untuk rekan kerja yang sakit, menawarkan bantuan mengerjakan tugas yang bukan tanggung jawabmu, karena kamu merasa ada orang yang membutuhkan bantuanmu dan inilah saatnya menjadi sang penyelamat. Hehe..

Seperti yang pernah Ayah saya sampaikan : Jangan pernah menjadi lilin. Menerangi sekitarnya tapi diri sendiri meleleh, hancur dan akhirnya binasa.

Menempatkan kebutuhan orang lain di atas kebutuhan sendiri seharusnya membuat kita menjadi “orang baik” bukan? Ternyata pemikiran itu salah.

Jika pemikiran tersebut muncul, saat kamu merasakan dorongan untuk memberi itu kuat, coba tanyakan pada diri sendiri :

Apakah aku memberi berdasarkan cinta atau justru berdasarkan takut atau ketergantungan?

Menurut Terri Cole, seorang psikolog sekaligus terapis dalam sebuah hubungan, sekuat apapun dirimu, kamu akan menyangkal bahwa dirimu sedang takut atau terlalu bergantung pada orang lain.

Namun dalam banyak kasus yang ditangani oleh Cole justru itulah yang ada di bawah permukaan kemurahan hati. Mungkin ketakutan yang kamu rasakan adalah takut dianggap tidak peka, dan ketergantunganmu berasal dari keinginan diri sendiri untuk merasa nyaman, tenang, dan terkendali.

Oleh karena itu dengan menjadi orang yang sangat dibutuhkan oleh orang lain, kamu mungkin juga menemukan rasa aman.

Jika terus menerus seperti ini kamu akan merasa hampa dan merasa semua orang di dunia ini egois dan tukang ambil untung, padahal kamu yang memulai hehehe.

Maka jalan keluarnya adalah mindfulness dan perawatan diri. 

Untuk menghentikan pola perilaku yang sudah menjadi kebiasaan, pikirkan diri sendiri terlebih dahulu sebelum mendedikasikan dirimu untuk orang lain. Periksa dirimu sendiri dulu baru berkomitmen. 

Tentu saja keputusan yang kamu buat harus sesuai dengan ruang yang tersedia dalam pikiranmu, bagaimana perasaanmu dan apakah ia adalah orang yang termasuk dalam daftar VIP atau bukan.

Memang berat pada awalnya karena ini semua membutuhkan latihan. Kamu pasti bisa!

4. Jangan Setuju Sekarang, Menyesal Kemudian

Pasti ada kan di antara teman-teman yang melakukan sesuatu untuk orang yang dicintai atau rekan kerja yang dihormati dan tidak lama setelah setuju lalu berpikir ulang dan: Duh kenapa tadi aku bilang mau ya?

Inilah yang akan menjadi tahap awal untuk menjadi kesal nantinya.

Seringkali kita memberikan persetujuan secara spontan. Kita membiarkan diri kita ditekan, tidak menyadari (atau bahkan setengah menyadari) bahwa kita akan merasa sangat kesal di kemudian hari.

Persetujuan yang kita ucapkan seringkali dikarenakan takut dicap sebagai orang egois. Sehingga kita meremehkan kepentingan diri sendiri dengan berpikir bahwa kita akan lebih disukai atau lebih diuntungkan jika kita melakukannya.

Mulai sekarang cobalah untuk memprioritaskan pikiran dan perasaan dan mampu mengenali sebuah fenomena yang tidak baik saat melihatnya.

5. Jangan Menolak Bantuan

menetapkan batasan

“Jangan khawatir, aku bisa kok.”

“Ngga usah, aku bisa sendiri kok, santai aja.”

Jika kalimat senada seperti di atas sering terucap, kamu mungkin sedang menghalangi bantuan datang. Bahkan ketika bantuan itu datang tanpa biaya dan tulus.

Tugasmu saat ini adalah mengidentifikasi mengapa kamu secara otomatis menolak tawaran atau tidak meminta bantuan. Tanyakan pada diri sendiri,

Mengapa aku tidak bilang, “ya”? Mengapa aku tidak meminta apa yang aku butuhkan? Apa yang aku takutkan?

Kamu mungkin tidak ingin merasa terbebani, berutang budi, atau berisiko menjadi orang yang dianggap rentan atau tidak bisa mengurus kebutuhannya sendiri.

Jalan keluar untuk hal ini adalah segeralah mencoba untuk meningkatkan kesadaran dalam segala hal. Baik itu besar maupun kecil bahwa kamu mungkin menghalangi orang lain yang akan membuat hidupmu lebih berharga. Kamu layak untuk dikenal dan didukung.

Semoga artikel ini bermanfaat ya!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *